Diberdayakan oleh Blogger.

RSS

KISAH RUYATI DIHUKUM PANCUNG, INDONESIA PROTES ARAB SAUDI

Pemerintah Arab Saudi melakukan eksekusi dengan hukum pancung terhadap tenaga kerja wanita Indonesia Ruyadi binti Satubi (54) di Arab Saudi. Ruyati dihukum pancung pada Sabtu (18/6/2011) lalu, karena membunuh majikannya, seorang wanita Arab Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid. Pada pertengahan tahun 2010, Ruyati membunuh majikannya dengan pisau dapur. Dia mengakui hal tersebut saat disidang di pengadilan. Pengadilan Syariah Arab Saudi kemudian memutuskan hukuman mati untuknya. Keputusan tersebut lalu disetujui pengadilan banding.
Ruyati berangkat ke Arab Saudi melalui penyalur tenaga kerja PT Dasa Graha Utama yang berlokasi di Pondok Gede, Kota Bekasi sejak 2008. Wanita itu terpaksa meninggalkan Indonesia demi memenuhi kebutuhan keluarganya setelah bercerai.
Menurut anak kandungnya, Evi (32), Ruyati kerap mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya, mulai dari pemukulan, pelemparan, penendangan, hingga menimbulkan patah tulang pada bagian kaki, tapi tidak ada yang peduli.”
Saat komunikasi terakhir dengan Ruyati, sekitar Desember 2010, pihak keluarga sudah memintanya pulang ke Tanah Air. Namun, Ruyati tidak juga pulang. Evi juga menyesalkan putusan eksekusi mati terhadap ibunya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pribadi dan Pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan keprihatinannya dengan kasus Ruyati. Pernyataan itu disampaikan Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha. “Presiden sangat prihatin dan betul-betul berduka atas apa yang menimpa Ruyati,” kata Julian, Minggu (19/6/2011) seperti yang dimuat di sebuah harian Nasinal.
Pemerintah Indonesia Protes
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur telah ditarik kembali ke Tanah Air terkait eksekusi mati terhadap Ruyati binti Satubino (54), tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi. Demikian diungkapkan Menlu Marty Natalewaga Senin (20/6/2011). Kementerian akan meminta penjelasan terkait kasus eksekusi tersebut. Kemlu akan bertemu dengan Dubes Gatot di Jakarta pada Senin sore ini. Sampai saat ini, pemerintah belum mengirimkan nota protes terkait kasus Ruyati.
Pemerintah juga mengecam pelaksanaan eksekusi mati terhadap Ruyati. Menurut Kemenlu, eksekusi mati terhadap Ruyati dilakukan tanpa memerhatikan praktek internasional terkait dengan hak tahanan asing untuk memperoleh bimbingan kekonsuleran. Eksekusi mati itu juga dilaksanakan tanpa sepengetahuan KBRI di Riyadh. Atas hal tersebut, Kementerian Luar Negeri berencana memanggil Duta Besar RI di Riyadh untuk mendiskusikan permasalahan itu, juga menyampaikan sikap pemerintah RI kepada Duta Besar Arab Saudi di Jakarta terkait eksekusi Ruyati.
Menlu membantah pemberitaan bahwa pihak keluarga Ruyati baru mengetahui adanya vonis mati setelah almarhumah dieksekusi. Marty mengatakan, sejak almarhumah terjerat kasus pembunuhan, KBRI di Jeddah telah memberikan bantuan hukum. Pemerintah juga telah menginformasikan hal ini kepada keluarga Ruyati di Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, Menlu mengatakan memiliki bukti-bukti bahwa kementeriannya telah melakukan komunikasi dengan keluarga, termasuk surat yang ditulis tangan oleh salah seorang anak Ruyati.
Kemenlu menyatakan sebelumnya telah berkomunikasi dengan pihak keluarga Ruyati untuk menjelaskan permasalahan hukum yang menjerat Ruyati di Arab Saudi. Kemenlu juga menjelaskan upaya-upaya yang telah ditempuh pemerintah untuk membantu proses hukum Ruyati, baik selama persidangan di pengadilan maupun mengupayakan pengampunan dari ahli waris korban untuk Ruyati. Namun, upaya tersebut tak mampu menyelamatkan Ruyati dari eksekusi mati. Dalam konteks diplomatik, penarikan Dubes merupakan salah satu bentuk protes keras suatu negara terhadap negara penempatan dubes tersebut berada.
Sementara itu Menteri Hukum dan HAM RI Patrialis Akbar Minggu (19/6/2011) menyatakan, Indonesia akan melayangkan protesterhadap Pemerintah Arab Saudi terkait hukum pancung terhadap Ruyati. Pihaknya sudah mengupayakan advokasi terhadap Ruyati. Ia datang langsung ke Arab Saudi bersama Dirjen Keimigrasian dan Dirjen Administrasi hukum pada 13 April 2011. Pihak Kementrian Menkumham  sudah membicarakan dengan Menteri Kehakiman Arab Saudi dan Wakil Ketua Komisi HAM Arab Saudi serta pejabat setingkat Menteri Dalam Negeri minta untuk tidak diterapkan hukuman pancung.
Lembaga Swadaya Masyarakat Komando Pejuang Merah Putih (LSM KPMP) melakukan demonstarasi protes di halaman luar Gedung Kedubes Kerajaan Arab Saudi. Mereka mengutuk keras hukum pancung terhadap Ruyati dengan alasan hukum pancung tidak mengindahkan hukum internasional dan hak asasi manusia. KPMP juga mendesak pihak Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah Indonesia agar memulangkan jenazah Ruyati ke Indonesia. Beberapa pengunjuk rasa menggelar aksi teatrikal, di antaranya memeragakan hukum pancung. Beberapa pengunjuk rasa juga membawa poster protes, antara lain bertuliskan “Boikot Produk Arab Saudi dan Lindungi TKI Secara Maksimal”.
Jenazah Tidak Dapat Dipulangkan
Aturan hukum di Arab Saudi mengharuskan jenazah korban qishas dimakamkan di Arab Saudi. Jenazah Ruyati telah dimakamkan di dekat makam istri pertama Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah di Mekkah. Dalam peraturan hukum di Arab Saudi, setiap orang yang meninggal karena hukuman mati, dianggap telah bersih dan dosa-dosanya telah diampuni.
Pemerintah telah memberikan santunan senilai Rp 97 juta kepada ahli waris Ruyati di Indonesia. Santunan tersebut terdiri dari santunan kematian asuransi, uang duka dari PPTKIS, Kemennakertrans, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Sebenarnya pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah menandatangani sebuah Statement of Intent yang merupakan sebuah permulaan dari MOU. Jadi Kemennakertrans akan terus mengupayakan agar MOU yang seharusnya ditandatangani pada bulan September itu dapat dipercepat prosesnya. Seharusnya perlindungan menjadi lebih pasti dan penanganan terhadap kasus-kasus TKI dapat melibatkan kedua negara secara efektif.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar